everything has expired date

“Pram … you’re my first love. But that’s all. We never meant to be together.”

Aprilia
4 min readJan 2, 2024
Photo by Alphacolor on Unsplash

Everything has expired date, Pram.” kataku akhirnya.

“Iya. Gue juga nggak mengarah ke situ, kok.”

Aku tersenyum tipis. Ngeles aja!

Semua gelas dan piring di meja tinggal tersisa setengah — bahkan nyaris habis. Obrolan yang terjadi satu jam ini sudah pada bagian epilog. Aku tidak berniat untuk menambahkan extra bonus. Cukup sampai di sini. Aku tidak mau menggali apa yang sudah dikubur dalam-dalam beberapa tahun terakhir. Tidak ada gunanya menggali kuburan, ‘kan? Mayat tetaplah mayat. Tidak mungkin hidup lagi.

“Lagian kenapa sih tiba-tiba ngajak ketemu? Di kafe banget? Biasanya juga di warung ibu!” Aku mencoba mencairkan suasana dengan mencolek sedikit kebiasaannya yang nongkrong di warung ibu. Basa-basi. Sesungguhnya aku tahu maksud dan tujuan dia mengajakku bertemu hari ini.

Pram tertawa. “Masih inget aja? Padahal itu jaman SMP, loh.”

Kini aku terdiam. Sial. Kentara sekali kalau aku tidak pernah lupa hal-hal kecil tentang dia walau sudah sepuluh tahun berlalu.

Iya, satu dekade. Sudah terlalu basi cerita itu kalau harus diungkit kembali. Sudah terlalu hambar untuk diingat lagi bagaimana gejolak itu pernah ada. Sampai saat ini mungkin Pram satu-satunya laki-laki yang berani untuk aku ikuti akun sosial medianya duluan. Sampai saat ini mungkin hanya Pram yang kehadirannya tidak membuatku risih. Sampai saat ini mungkin Pram tidak tahu kalau dia adalah cinta pertama bagiku.

Yang terjadi sepuluh tahun yang lalu tidak seindah di buku-buku fiksi remaja. Kami hanya anak SMP berusia tiga belas-empat belas tahun yang masih belajar banyak hal, masih beradaptasi dengan lingkungan, masih menyortir mana yang baik dan mana yang buruk untuk jangka waktu yang panjang. Memilih teman dan pasangan hanya mengikuti apa yang terlihat saja.

Kini giliran aku yang ngeles. “Ya ingetlah! Itu kan tempat nongkrongnya anak-anak juga.”

Pram manggut-manggut. Dia menghabiskan sisa kopinya, lalu menyisihkan gelas kosong itu ke pinggir meja. Jemarinya menyisir rambut yang berantakan, sebelum melipat kedua tangannya di atas meja.

Aku diam memperhatikan setiap gerakannya. Hal-hal kecil seperti itu yang selalu kusuka darinya. Wajahnya secara keseluruhan tidak berubah — wajah yang selalu berseri-seri, selalu cengengesan. Tingginya mungkin naik beberapa senti dari terakhir kali bertemu. Rambutnya juga lebih gondrong. Ternyata perubahan yang paling drastis adalah tidak ada gemuruh di balik dada saat membalas tatapan matanya sekarang.

“Iya, bener kok, kalau semua itu ada masa kadaluarsanya.” kata Pram sambil sedikit tersenyum. “Tapi kan siapa tau lo itu jodoh gue.”

Aduh, Tuhan.

“Pra — ”

“Nggak-nggak, bercanda!” Pram menyela, tertawa canggung. Laki-laki itu pasti bisa langsung membaca raut wajahku yang berubah drastis sepersekian detik — karena hal itu juga yang ku lihat darinya.

“Pram, gue udah tau maksud dan tujuan lo dari pertemuan ini. Gue diem, lo mancing. Gue pancing balik, lo malah ngeles. Gini aja terus sampe lebaran kambing!” Aku mulai terpancing emosi. “Obrolan kita nggak akan ada juntrungnya kalo gini terus. Coba jelasin secara gamblang.”

“Emang apa, Sa, maksud dan tujuan gue?” Pram malah tersenyum licik.

Sialan.

SIALAN.

Aku menarik napas sekali. “Gue nggak mau Pram kalau harus balik lagi sama lo.”

Mampus kan Pram langsung aku tolak!

“Kaget ‘kan lo?” Aku belum selesai bicara. Apalagi ekspresi Pram yang tak gentar setelah menerima ‘penolakan’. “Mungkin, diri kita di umur 14 tahun cuma pernah menjalin hubungan selama sebulan. Tapi, Pram, yang lo nggak tau, gue udah mengagumi lo jauh sebelum itu terjadi. I was your secret admirer. Gue tau persis lo tipikal laki-laki yang seperti apa. Tanpa lo sadari, gue hapal semua kebiasaan-kebiasaan kecil lo. Gue selalu diem-diem merhatiin gerak-gerik lo. Masa-masa itu jauh lebih indah dari yang terjadi setelah itu. Gue seneng, Pram, lo akhirnya bisa membalas perasaan ini. Akhirnya gue berhenti dengerin lagu Raisa yang Apalah (Arti Menunggu).

Gue tau lo nggak menganggap gue sepenuh hati. Gue cuma satu dari banyak perempuan yang kebetulan mampir di hidup lo saat itu. I knew it and it was okay. Kenapa? Karena setelah bertahun-tahun berlalu, gue sadar kalau lo memang sekadar orang yang cuma gue kagumi tanpa perlu balasan. Pram … you’re my first love. But that’s all. We never meant to be together.”

Pram diam seperti melihat malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya. Matanya menelisik setiap sudut wajahku. Dia mencoba mencari sesuatu di sana. Posisi duduknya kini terlihat tidak nyaman. Garis rahangnya terlihat mengeras.

“Jangan bengong, ah!” Aku mengibaskan tangan ke depan. Ada perasaan lega yang tak pernah kutahu akan muncul. Setelah sepuluh tahun, Pram akhirnya tahu apa arti dia di mataku.

“Gue kayak dipiting kenyataan, Sa.”

“Lebay!” Aku tertawa. “Udah ya, Pram? Nggak usah bahas masa lalu lagi. Nggak perlu diungkit-ungkit lagi. Inget, masa lalu biarlah masa lalu.”

Pram hanya berdecak, lalu tersenyum tipis. Sorot matanya tidak bisa berbohong: kecewa. “Yah, tau gitu lo aja yang bayar semuanya. Masa gue yang traktir tapi gue juga yang ditolak?”

Gumpalan tisu kecil melayang ke wajah Pram. Butuh waktu beberapa menit untuk kembali mencairkan suasana. Kini kami berdua sudah duduk rileks, bersenda gurau seperti tak ada yang terjadi. Laki-laki itu basa-basi sebentar sebelum pamit pulang. Ia menawarkan diri untuk mengantarkanku pulang.

“Nggak usah. Gue bawa kendaraan sendiri.” jawabku menolaknya.

Pram mengangguk. “Jaga diri baik-baik, ya, Sa.”

Aku tersenyum, tulus.

Terima kasih, Pramudya.

--

--

Aprilia
Aprilia

No responses yet