Minggu lalu, adik perempuanku pulang membawa teman-teman sekolahnya ke rumah. Hari itu hujan dari pagi. Mereka duduk di teras rumah yang hanya beralasan karpet. Mamahku sedang sakit — tidak bisa menyediakan makanan, jadi mereka hanya merebus mie instan. Selesai yang laki-laki jumatan, mereka asik bernyanyi dengan speaker dan mic yang ada di rumah. Meskipun minimnya fasilitas dan hidangan, tetapi tawa keras mereka tetap terdengar.
Sederhana tapi membuat mereka bahagia.
Aku termenung di dalam kamar. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, aku yang ada di posisi itu. Pulang sekolah membawa segerombolan teman-teman. Rumahku selalu jadi pilihan mereka saat pulang lebih cepat. Sampai-sampai rumahku mereka jadikan basecamp, padahal jarak sekolah dan rumahku hampir 7 km, dan rumah mereka pun saling berjauhan.
Mamah selalu senang dengan kehadiran mereka. Mamah selalu menyediakan makanan untuk mereka. Ada atau tidak adanya uang, Mamah selalu bilang kalau sudah kewajibannya untuk memberi mereka makan.
“Kalau mereka pulang ke rumah pasti udah disediain makanan sama ibunya. Jangan sampe orang tuanya khawatir anaknya nggak dikasih makan.” jawab Mamah ketika aku tanya kenapa selalu rela menyediakan makanan untuk mereka. Teman-temanku dipastikan tidak akan kelaparan selama di rumah.
Perlahan Mamah mulai hafal satu persatu dengan mereka; nama mereka, tabiat, tempat tinggal, kebiasan, dsb. Mamah mulai menanyakan ketika ada yang tidak ikut. Bahkan Papah dan adik laki-lakiku juga ikut berbaur dengan mereka.
Padahal rumahku tidak besar. Tidak banyak fasilitas. Tapi plusnya memang jauh dari tetangga dan banyak kebun di sekitaran rumah. Hanya bermodalan gitar, pisang goreng, minuman manis, mereka betah berlama-lama di rumahku. Bisa-bisa mereka menginap seharian kalau tidak ada teman perempuanku yang sudah disuruh pulang orang tuanya. Yang laki-laki selalu memastikan yang perempuan pulang dengan selamat; rela mengantar temanku ke rumah yang jaraknya 20 km dari rumahku.
Bahkan beberapa tahun setelahnya, ketika kami berpisah saat memasuki SMA, sampai lulus sekolah, sesekali mereka mendatangi rumahku dadakan atau terencana. Obrolan kami masih sama, jokes kami masih sama, masih saling mengerti dengan tabiat masing-masing. Momen-momen seperti itu yang lambat laut hilang bagai ditelan bumi.
Pertemuan kami berkurang tiga bulan sekali, enam bulan sekali, satu tahun sekali, sampai pertemuan-pertemuan itu hanya wacana.
Hari ini, mereka semua sedang berjuang dengan hidupnya masing-masing. Memasuki usia matang, memasuki usia sudah ditanya “kapan menikah?”, memasuki usia luas relasi, memasuki usia banyak melalui circle lingkungan, memasuki usia banyak membuat rencana tapi tidak terlaksana. Mereka tetap sahabatku meski minim komunikasi. Mereka yang selalu membuat Mamahku bertanya, “Kapan kumpul-kumpul lagi?” lalu menyebutkan menu-menu makanan yang menjadi favorit mereka.
Time flies so fast…
Rumahku dipastikan selalu terbuka untuk mereka.